Pages

Selasa, 04 Februari 2014

Tragedi Cangkir Kembar by. DeiKa




Mahpud secara tak sengaja bertemu dengan gadis manis yang kala itu memakai jasa ojeknya. Sekilas wajah mereka terlihat mirip, dan Mahpud dengan percaya diri yang tinggi menganggap gadis itu adalah jodohnya. Ia lantas mencari cara untuk bisa mendekati gadis bernama Siti itu. Namun tiba-tiba Siti kehilangan sebuah cangkir titipan orangtuanya. Ia mengaku kehilangan cangkir antik itu saat perjalanan pulang dengan ojek Mahpud. Memanfaatkan kesempatan, Mahpud segera menawarkan diri untuk membantu mencarinya.

Sebetulnya, Mahpud sengaja menyembunyikan cangkir Siti agar dia selalu punya alasan untuk berdekatan dengan gadis itu. Siti yang memang tengah jengah dengan sikap Ramon yang mengacuhkan dirinya pun mulai terikat dalam sebuah perasaan lain di hatinya pada Mahpud. Kedua insan naif itu saling jatuh cinta dengan mengatasnamakan pencarian cangkir. Hingga berminggu-minggu hubungan mereka terus terjalin, menguatkan rasa yang mengakar jauh di dasar hati, yang perlahan memudarkan nama Ramon dari dalam relung Siti. Namun, ia merasa bersalah juga, karena ia hingga detik itu masih resmi menjadi kekasih Ramon. Tentu saja Mahpud tidak pernah tahu tentang pacar Siti itu. ia takut Mahpud akan meninggalkannya begitu tahu.

“Seandainya cangkir kamu nggak ketemu gimana?” tanya Mahpud suatu saat, melirik Siti yang duduk dengan gelisah di sebelahnya.

“Ya harus ketemu. Soalnya itu berharga sekali buat saya sekeluarga” gadis berparas manis itu
menjawab seadanya. Tinggal sedikit lagi Mahpud. Saya akan menyelesaikannya nanti malam, dan setelah itu kita bisa bersama.

Ya. Siti memang berencana untuk mengakhiri hubungannya dengan Ramon. Ia secara khusus memohon Ramon untuk bicara berdua nanti malam. Siti sudah lelah menjalin hubungan yang berputar-putar dengan lelaki itu. Baginya saat itu, Mahpud lebih dari segalanya dibandingkan Ramon.

“Kalau gitu saya janji akan segera menemukannya, apa yang penting buat kamu, sama pentingnya untuk saya” Mahpud sudah berniat mengakhirinya sekarang. Kepura-puraannya yang tak tahu dimana cangkir milik Siti itu. Ia sudah lelah. Lelah berlagak jadi Jaka Tarub yang menyembunyikan selendang sang bidadari hanya untuk merebut hatinya.

Senyuman Siti diiringi oleh senja yang menghujam malam, yang sebentar lagi akan membuatnya menyeruak. Saat dimana Siti akan melakukan sebuah keputusan yang diakuinya memang cukup berat. Mengingat hubungannya dengan Ramon sudah berlangsung lebih dari empat setengah tahun.
 ***

“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu?” lelaki dengan seragam salah satu Bank nasional itu akhirnya bersuara. Setelah ribuan aksara yang diuntai gadis pujaanya sedari tadi, seolah belati yang menyayat-nyayat perasaannya.

Lelaki itu adalah Ramon. Yang dulu sempat membuat Siti mabuk kepayang, namun sekarang ia tak lebih hanya sekumpulan kesalahan yang tak pantas lagi untuk dipertahankan. Ramon memang menyadari dirinya kahir-akhir ini selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hal yang semata-mata ia lakukan lebih keras untuk masa depannya dengan Siti kelak. Mengapa gadis itu menjadi tidak sabaran sekarang?

“Yakin, Mas. Maafin saya” suara Siti mengecil.

“Tidak ada kesempatan kedua?” Ramon mendekati gadisnya, ia menggenggam kedua jemari Siti yang membeku. Ditatapnya bola mata cantik itu, berusaha menangkap pancaran ragu di sana.
Namun gadis itu mengangguk mantap. Matanya kini berkilat nyalang. Ramon menghela nafas. Ia terlalu mencintai gadis itu untuk memaksanya terus menunggunya. Lantas ia rengkuh tubuh Siti dalam dekapannya.

Ia sebetulnya tahu. Walaupun tak begitu yakin. Alasan Siti memutuskannya adalah untuk berpaling pada seorang lelaki bernama Mahpud. Benar, walau Ramon sibuk dan seolah tak memperhatikan Siti, ia diam-diam menyelidiki gadis itu. Awalnya hanya untuk mencari tahu mengapa Siti akhir-akhir ini jarang sekali menghubunginya. Namun kenyataan lain didapat Ramon. Kenyataan tentang lelaki lain yang seringkali bersama Siti.

“Kalau begitu ijinkan Mas memeluk kamu.. mungkin saja, untuk yang terakhir kali..”
Air mata Siti jatuh, bersusuran menghujani pipinya. Tak mudah mengenyahkan rasa yang telah tumbuh sekian lama. Namun ia harus memilih. Ia tak ingin menjadi egois dengan hasrat untuk memiliki keduanya. Harus ada yang dikorbankan. Karena ia yakin, Ramon berhak mendapat seseorang yang jauh lebih baik dari pada dirinya.

Ramon pamit undur diri pada Siti dan keluarganya. Apapun itu, asal untuk kebahagiaan Siti, ia rela meskipun harus membuang dirinya dari kehidupan gadis itu. Namun nyatanya cinta yang telah mengakar meragukan niat semula Ramon. Tiba-tiba ia merasa harus melakukan sesuatu, terlebih tentang informasi rancu yang didapatnya. Ia lalu memutar balik laju mobilnya..
***

Siti terkejut mendapati Mahpud sudah berada di depan rumahnya esok malamnya. Wajahnya nampak cemas dan lelah. Di tangannya, tergenggam dua buah cangkir yang Siti kenali salah satunya sebagai miliknya.

“Sudah ketemu ya?” tanyanya berbinar.

“Ayo ikut saya” tak menjawab, Mahpud segera menarik tangan Siti ke luar rumah, ke sebuah danau yang tak jauh dari rumah Siti.

“Ketemunya dimana?” Siti masih penasaran dengan penemuan cangkirnya yang cepat itu. Ia lalu mengambil cangkirnya dari tangan Mahpud dan mengamatinya. Ternyata itu benar kepunyaannya.

“Sebetulnya, saya nggak pernah mencari cangkir itu”

“Maksud kamu?” tanya Siti heran. Ekspresi wajah Mahpud benar-benar berbeda sekarang.

“Karena cangkir kamu nggak pernah hilang Siti. Saya yang menyembunyikannya. Supaya saya punya alasan buat deket sama kamu. Saya cinta sama kamu Siti. Saya nggak mau kehilangan kamu” jelas Mahpud parau.

Siti terkesiap. Mungkin bila ia tahu tentang ini dulu, ia akan marah besar pada Mahpud. Namun, sekarang siapa yang peduli dengan hal sepele begitu?. Karena itu pastilah salah satu trik takdir untuk mempertemukan, dan menyatukan mereka.

“Saya juga cinta sama kamu. Sangat cinta” Siti tersenyum bahagia. Tidak ada lagi yang salah dengan perasaannya sekarang. Yang ada dibenaknya hanyalah Mahpud seorang.

“Kalau begitu... boleh saya menemui orangtua kamu untuk melamar?” tanya Mahpud dengan senyum datar.

Siti mengangguk antusias. Jangankan bicara untuk melamar, Mahpud ingin menikahinya saat ini pun Siti pasti akan mengangguk. Mahpud lantas menggandeng tangan Siti. Namun ternyata ia melupakan sesuatu.

“Oh ya, saya mau beli nasi rames dulu, tadi disuruh sama ibu. Yuk”

“Kalau gitu saya kerumah kamu duluan aja deh, nunggu di sana”

“Oh. Ya udah. Saya ke warung dulu ya”

Baru kali ini Mahpud berani menemui orangtuanya. Sendirian pula. Mungkin itu bukti keseriusan Mahpud padanya. Gadis itu pun hanya bisa tersenyum sendiri. Namun, ada yang terasa janggal pada perasaannya. Sesuatu yang sepertinya terlalu salah. Yang begitu mengganggu ketenangannya.
Angin yang menderu pelan seakan membawa pergi kehangatan yang menyelubungi Siti, meninggalkan kebekuan yang kian menajam. Dalam perjalanannya ke warung nasi rames, ia memandangi pohon kelapa yang mengayunkan dedaunannya pelan. Mendesirkan hati Siti yang mendadak tak tenang. Namun ia hanya menghela nafas panjang, berusaha mengenyahkan rasa tak nyaman itu, untuk perlahan kembali menapaki langkah kakinya.
***

Ramon mengehntikan mobilnya di sebuah rumah sederhana dengan pelataran yang cukup luas. Di sana terparkir sebuah becak yang terlihat miskin perawatan. Menurut informasi yang di dapatnya, di sanalah kediaman lelaki yang telah mencuri Siti dari hatinya. Ia hanya ingin tahu seperti apa lelaki itu, dan seberapa pantas ia mendapatkan gadis itu.

Ia disambut ramah oleh pria paruh baya yang ramah. Dengan mengatasnamakan saudara Siti, Ramon memperkenalkan dirinya. Namun, kerena sepertinya pria itu mengetahui kebohongan Ramon, ia lantas menjelaskan secara jujur siapa dirinya dan maksud kedatangannya malam-malam begini.

“Saya sudah duga. Mereka itu sudah tidak punya keluarga lain lagi” kata pria itu yakin.

“Bapak sudah sangat mengenal keluarga Siti kalau begitu?”

“Jelas. Saya kenal mereka bahkan sebelum mereka punya anak”

Lantas pria itu menceritakan semuanya. Hal yang ia ketahui tentang keluarga Siti. “Dua puluh empat tahun yang lalu, orangtua Siti menikah dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mereka sama-sama yatim piatu yang miskin. Saya yang waktu itu jadi saksi pernikahan mereka. Selang setahun, mereka dikaruniai anak. Putra dan putri. Saat itu kemiskinan semakin menghimpit mereka. Hingga mereka memberikan salah seorang anaknya pada saya bersama dengan sebuah cangkir, yang pasangannya mereka simpan sendiri” pria itu menghela nafas sejenak, lantas kembali meneruskan,

“Lalu terjadi sebuah kebakaran hebat sehari setelahnya, yang merusak seluruh pemukiman penduduk miskin saat itu. Semua berlari-lari menyelamatkan diri. Sejak saat itu saya kehilangan mereka. Sampai suatu saat saya mengetahui kenyataan bahwa Mahpud menyembunyikan sebuah cangkir milik seorang gadis yang disukainya. Baru kemarin saya menemukan cangkir itu di bawah ranjang Mahpud. Cangkir antik langka yang sama persis dengan milik Mahpud”

“Jadi... kalau begitu... Siti dan Mahpud itu.. saudara sedarah?”

“Bukan hanya sedarah. Mereka juga serahim. Karena mereka itu saudara kembar”

Ramon menganga tak percaya. Siti pasti tidak tahu tentang cerita ini. “Dimana Mahpud Pak? Dia harus menjelaskannya pada Siti”

Menurut pria itu, Mahpud tengah mengurung diri dalam kamarnya. Setelah Mahpud tahu kebenarannya, ia begitu marah. Karena ia sudah terlanjur sangat mencintai Siti. Pria itu tengah bergegas membujuk Mahpud untuk menerima kenyataan, saat disadarinya Mahpud tak berada di tempatnya. Jendela kamar yang terbuka dengan tegas mengisyaratkan bahwa penghuninya telah pergi.
 ***

Siti tertegun di tempatnya. Apa yang baru saja didengarnya seperti sambaran petir yang menerjang ulu hatinya. Apa yang dibicarakan Mahpud dengan orangtuanya bukanlah perihal lamarannya untuk Siti, namun fakta mengejutkan tentang cerita masa lalu mereka. Tentang koneksi antara Siti dan Mahpud yang telah terbentuk bahkan sebelum raga dewasa mereka sempat bertemu. Bahwa Mahpud dan dirinya adalah saudara kembar. Orangtuanya memberikan Mahpud pada seorang tukang becak miskin yang terpisah karena kebakaran.

Lantas Siti mendengar teriakan Mahpud.

“Kalian memang kejam! Kalian memberikan saya pada orang lain hanya karena kalian miskin. Dan sekarang lihat akibat perbuatan kalian. Saya jatuh cinta pada kembaran saya sendiri!!”

“Kami minta maaf nak. Kami terpaksa...” rengek suara ibunya.

“Ahh. Saya nggak butuh permintaan maaf kalian. Yang saya butuhkan adalah kalian membayar semuanya dengan hidup kalian”

Saat perasaan Siti semakin bergejolak, ia segera masuk kerumahnya. Namun teriakannya tak dapat menghentikan sebilah belati yang telah melumpuhkan tubuh orangtuanya. Mahpud telah menyabetkannya secara membabi buta pada orangtua mereka. Dengan berlumuran darah, lelaki itu memandang Siti keji.

“Siti... sayangku.. saya mencintai kamu, sangat mencintai kamu. Tapi saya juga benci kamu! Kenapa mereka lebih memilih kamu untuk tetap tinggal bersama mereka? Kenapa saya yang dibuang?!”
Siti terpaku di sana. Ia tak bisa bergerak bahkan untuk melarikan diri. Kakinya seolah terkunci rapat di lantai, air matanya bercucuran, menatap tubuh berlumuran darah milik kedua orangtuanya. Lantas Mahpud mendektinya. Ia merangkul Siti dari belakang. Detik yang sama ketakutan merebak di hati Siti.

“Kamu lihat orangtua kita itu? kalian selalu bersama-sama sejak dulu.. tanpa saya!! Pasti kamu ingin kan bergabung dengan mereka sayang?” Mahpud membelai pipi basah Siti dengan belatinya, lalu tertawa terbahak-bahak. Tangis Siti lantas pecah.

“Diam!!” bentak Mahpud, “Kamu tahu, betapa sakitnya hati saya mengetahui kenyataan ini Siti. Satu kenyataan pahit tentang saya yang dibuang. Dan satu kenyataan lagi bahwa saya mencintai saudara kandung saya sendiri membuat saya hancur Siti....” Mahpud menangis. Siti merasakan belati Mahpud mulai menggores pipinya, menyengatkan perih di antara isak tangisnya.

Siti lantas memberanikan diri menginjak kuat-kuat kaki Mahpud, yang mengerang kesakitan dan tanpa sadar melepaskan Siti. “Saya tahu apa yang kamu rasakan Mahpud. Karena saya juga mencintai kamu” seru Siti, melangkah mundur menghindari Mahpud yang kembali mendekatinya.

“Kamu nggak tau apa-apa, Siti. Bukan kamu yang dibuang tapi saya!!!”

Pintu tiba-tiba menjeblak terbuka, memunculkan sosok Ramon di antaranya, yang terkejut melihat tubuh tak bernyawa orangtua Siti.

“Hentikan Pud! Polisi akan segera kesini dan menangkap kamu”

Ramon berusaha menyergap Mahpud. Namun Mahpud melawannya, mereka lalu bergulat. Hingga tak sengaja belati Mahpud menusuk sang pemilik. Mahpud mengerang kesakitan. Sementara Ramon mendekati Siti. Saat hendak dipeluknya sang pujaan hati, tiba-tiba Siti mendorongnya ke samping dengan keras, tepat pada saat belati Mahpud menancap di dada Siti yang secara bersamaan melemparkan cangkir kembarnya ke kepala Mahpud.

“Sitiiii !!!”

Cangkir kembar itu hancur berkeping-keping, dan menyebar di antara dua saudara kembar yang serentak ambruk menimpanya. Menjadi saksi bisu tragedi yang begitu ngeri dan memilukan. Lantas, sejarah tentangnya pun menutup.

#end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar