Pages

Minggu, 16 Februari 2014

SESAL


Tirai hujan di luar sana begitu menggoda untuk dilirik. Desahan angin pun senang mempermainkannya, membuat rintiknya kepayahan untuk menghujam lurus ke tanah. Aku semakin rapat mendekap dingin saat mata kakiku terantuk sesuatu yang panas. Segera kutoleh sisi lantai tempatku meringkuk memeluk kedua lutut. Ah, ternyata hanya Mocha Frappe instan yang kuseduh panas beberapa saat lalu. Namun nyatanya, hal sesederhana cangkir kopi pun menyimpan sayatan kenangan yang mengepul ringan, tak gentar melawan hembusan angin penghujan yang kejam.

Sebetulnya, memutar kembali memori tentang Mocha Frappe, yang sama-sama kita nikmati ketika pertama kali bertemu di sebuah Cafe, sama saja dengan menenggak kopi itu panas-panas dalam satu tegukan, begitu perih dan menggores kerongkongan. Saat aku harus kembali mengingat tentang asa yang pernah ada. Tentangmu. Tentang kita berdua. Dan tentang masa lalu yang telah lama berlalu.

Lantas anganku mulai mengais di antara torehan luka dan kelebatan akan sosokmu yang mengendap lama dalam relungku, untuk kemudian berhasil menyusun kembali potongan-potongan kisah yang selalu enggan kututup namun juga tak mau terus kuingat. Saat pertama kalinya masa lalu menjadi sebuah momok mematikan bagi cinta sepasang manusia yang sedang tersungkur jatuh dalam genangan cinta yang menggelora...

            “Orangtuaku akan datang besok siang. Mereka sengaja kesini untuk sekedar kunjungan silaturahmi. Tapi aku harap juga untuk menentukan nasib masa depan kita.” kala itu kau berkata dengan antusias, menularkannya juga padaku yang segera gugup lantaran terlalu gembira.

            “Kamu serius? orangtuamu jauh-jauh datang dari Jakarta hanya untuk menemuiku?” tanyaku kegirangan. Maklumlah, selama setengah tahun bersama, belum pernah aku bertemu langsung dengan kedua orangtuamu.

            Kau merangkulku dengan gemas. “Ya. Sudah saatnya orang-orang spesial dalam hidupku akan aku pertemukan. Hal yang wajar memang, tapi sangat berarti sekali untukku.” Dan saat itu kita sama-sama tersenyum, mengulum sebuah mimpi yang akan segera diwujudkan.


Namun tiba-tiba aku menyesal menyebutnya mimpi. Karena pada akhirnya hal itu memang hanyalah impian yang jauh dari nyata. Hari yang membuatku merasakan luapan euforia, merupakan hari yang juga membuat perasaanku tertusuk-tusuk, menjatuhkanku ke kedalaman tanpa dasar. Terhempas tak jelas. Gamang.

            “Bapak tidak setuju kamu menikah dengan dia. Ayo kita pulang.” ujar Bapakmu dengan suara tercekat. Ia seperti kaget mendengar ucapannya sendiri.

            “Tapi kenapa, Pak? Apa yang salah dari Asri?”

            “Dia...” ucapan yang datang dari seorang tua yang mirip denganm itu mengambang, membuatku semakin berdebar menanti apa yang menjadi permasalahan. Aku memang tinggal sendiri dengan Ibuku. Tapi kupikir, kehidupan kami sudah lebih dari layak untuk bersanding dengan keluargamu.

            “Kita pulang.” sergah Bapakmu tegas. Lantas segera berlalu dengan tergesa dari rumahku. Beribu maaf kau sampaikan padaku dan ibuku sebelum akhirnya menyusul jejak orangtuamu.

Aku menghela nafas sekali lagi. Memandang langit siang yang menggelap. Mengapa semua matahari tak mau menampakkan dirinya? Satu matahari yang dibutuhkan manusia, dan matahari lain yang sangat dirindui hati sepiku. Kau.

Aku meneguk lagi minuman yang telah mulai mendingin. Lalu kusorongkan cangkir itu menjauh. Mungkin karena aku tak ingin mengingat kembali dinginnya kenyataan yang sempat membekukan pikir dan hatiku, saat pintu menuju masa lampau itu akhirnya terbuka.

            “Dia Ayah kandungmu. Dulu ibu mau saja diperdaya untuk menikah siri dengannya. Dan setelah ketahuan istrinya, ibu dicerai begitu saja. Lalu dia minggat ke Jakarta. Tepat saat dua bulan ibu mengandung kamu."
Penjelasan ibuku sudah cukup memporak-porandakan seluruh isi tubuhku. Kisah pilu yang tak pernah diceritakan dengan sebenarnya oleh ibuku. Yang kutahu sekarang, cerita tentang kecelakaan ayahku hanyalah kemuflase belaka. Bohong.

            “Kamu tidak bisa menikahi saudara satu ayahmu sendiri. Ah, andai saja ibu menyadarinya lebih awal, sudah dua puluh tiga tahun...” ibuku menangis. Sementara aku, pias.

Selang beberapa lama pun kau tak kunjung memberikan kabar padaku. Entahlah. Mungkin kau memutuskan untuk meninggalkanku ketika orangtuamu menceritakan yang sebetulnya. Mungkin kau akan mengikuti jejak ibumu membenciku dan keluargaku, yang pasti ia cap sebagai perusak rumah tangganya. Dan entah aku harus menyalahkan siapa akan semua ini. Bertemu dan jatuh cinta dengan kakak satu ayah pun tak pernah kusangka sebelumnya. Dan saat rahasia kelam terkuak setelah cintaku padamu kian mengerat, kata apa lagi yang tepat menggambarkan keadaan rasaku selain hancur?

            “Tidak ada yang salah di antara kita kecuali masa lalu. Aku tidak peduli asal-usul kamu. Niatku sudah bulat. Menikahlah denganku.” Kau berujar lantang di suatu malam tenang bertabur gemintang yang terserak. Aku hanya bisa menganga menatapmu. Tak menemukan cara lagi untuk berbicara. Beribu kata-kata yang terpatri di pikiran seakan mandeg di ujung lidah.

            “Aku tidak bisa mencintai orang lain lagi, As. Hanya kamu...”

Dan aku menurutimu. Kita lalu pergi bersama ego yang memantapkan tekad untuk berbuat nekad, meninggalkan jejak pemberontakan di hati orangtua kita. Meski aku tau ini salah. Namun apalagi yang bisa kulakukan? Aku terlalu mencintaimu untuk bisa melangkah ke jalan yang lebih benar.

Tiga minggu berlalu setelah perkawinan kita. Momen yang seharusnya tidak pernah terjadi itu lantas membuahkan celaka. Kau pergi untuk selamanya dalam perjalananmu mencari sesuap nasi untuk kita. Mati.

Hingga saat ini pun, tepat empat bulan setelah kepergianmu, aku masih merasakan sesal dan kesedihan yang sama. Kecuali satu hal. Kehangatan seorang ibu yang masih bisa aku dapatkan setelah perlakuanku yang menyakitkan padanya. Seorang ibu yang masih sudi menerimaku setelah luka dalam kutorehkan di hatinya. Membuatku semakin menyadari satu hal. Sebenar-benarnya cinta adalah cinta seorang ibu. Ia tulus tanpa membagi. Ia peduli tanpa menghakimi.

Dan kini, di tengah penghujan yang tak kunjung usai, aku memandang perutku yang membuncit, seraya merapal doa dalam hati, agar kelak semuanya baik-baik saja.

#end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar