Pages

Minggu, 02 Februari 2014

Perempuan di Tengah Malam




'Satu kesalahan menerjang, berikutnya yang muncul hanyalah sisa kesia-siaan. Tak ada gunanya lagi tembang penyesalan kau dendangkan kini....’

Seorang perempuan menguap lebar. Ia menutup novel tebal yang baru saja selesai ia baca. Berkisah tentang seorang pembunuh berkepribadian ganda yang akhirnya menyesali perbuatannya di balik jeruji besi, untuk kemudian membunuh dirinya sendiri dengan cara mengenaskan.

Perempuan itu lalu keluar dari dari pintu kamar yang sudah tertutup rapat sedari tadi. Ia melenggang dengan malas menuju pintu lain yang berada di timur kamarnya, dan membiarkan pintu itu terkuak. Meski ia tak menyadari, pintu itu kini berderit membuka semakin lebar, memperlihatkan sesuatu yang tengah mendengkur di balik rentangan selimut tebal. Desahan angin pengap yang menguar disana pun sekarang bebas merentangkan diri keluar ruangan, berayun-ayun lincah menelusup setiap celah yang dapat ia jangkau. 

Ia lalu menembus dapur yang temaram, melewati perempuan yang tengah menyeduh cairan hitam pekat yang mengepul di tengah malam yang masih setia menggelayut. Tangan sang perempuan lantas tak sengaja menyentuh cangkir bening yang ia letakkan secara seroboh di ujung meja dapur. Dan seperti yang sudah bisa ditebak, cangkir itu bukan hanya jatuh, namun hancur berkeping-keping. Perempuan itu memekik terkejut, tepat saat hembusan angin yang lebih kuat menghantam tengkuknya berulang kali. Mendadak sekujur tubuhnya merinding. Ia mengamati sekitarnya dengan
seksama. Ekspresi berani dan takut seolah berpusar dan menyatu pada guratnya yang menegang.

“Semoga hanya perasaanku saja..” perempuan itu bergumam, tepat setelah ekor matanya menangkap sekelebat bayangan yang melintas cepat. Namun ia tak berani memeriksanya kemanapun. 

Ia kemudian buru-buru membereskan pecahan cangkir kosong yang masih berserakan di sekitar kaki telanjangnya, untuk kemudian mengumpulkannya di sudut lantai. Ia amat takut untuk sekedar membuangnya ke tempat sampah di luar rumah.  Biarlah ia lakukan besok saja.
Suara langkah kaki samar tiba-tiba terdengar, tepat di luar jendela dapur yang bergeming. Sang perempuan mematung. Ia menajamkan pendengarannya dan menelan ludah. Namun sial, degup jantungnya justru bertalu lebih keras, membuat nafasnya terhempas berat, dan telinganya serasa bedengung. 

                “Aaaarrggghhhh..!!”

Perempuan itu semakin tercekat. Ia kenal betul suara siapa itu. Tapi kenapa dia berteriak? 

“Mas??” panggilnya parau  sembari bergegas kembali ke kamar pengantinnya. 

Pintu menjeblak terbuka. Mata sang perempuan menerjang kamarnya mencari sesuatu. 

                “Mas? Mas Feri?” namun kosong. Tak ada sahutan. Tak ada gerakan. Dan samar-samar, sang perempuan melihat noda besar di sepanjang lantai yang ia pijak. Ia mencoba mengamati lebih dekat di tengah temaram lampu meja yang menyala remang.

Ya. itu adalah darah. Tadinya pasti merah pekat, sebelum ada sesuatu yang sepertinya diseret di atasnya. Perempuan itu menutup mulut dengan kedua tangan, matanya mengabur oleh embun di sekitar pelupuknya. Tak ada lagi yang ia pikirkan selain yang terburuk. Segera ia mengikuti jejak darah itu hingga ke mendekati pintu keluar rumah yang mengayun pelan disapu angin. Namun rasa was-was semakin merasuki hati sang perempuan saat listrik di sekitarnya padam. Ia panik dan buru-buru berlari keluar, berniat meminta bantuan tetangga sekitar, meski jarak setiap rumah terpisah cukup jauh. 

Belum sempat ia berlari jauh, kakinya terantuk sesuatu yang besar di tanah pekarangan rumahnya. Pendar purnama kala itu segera menyoroti apa yang teronggok lemah di bawahnya. Benar. Itu adalah mayat. Seorang lelaki bertubuh besar dan berlumuran darah.

                “Mas Feri !!!!” jeritan istri si mayat menghujam malam yang tergelar. Sesuatu yang seperti ini seharusnya tak terjadi di hari ketiga pernikahan mereka. Janji suci yang akhirnya terjalin setelah berbagai aral yang menghalangi telah sanggup mereka lewati. Saat itu juga terdengar suara sebongkah kayu yang dilemparkan ke teras rumah. Sang perempuan bersiap kembali menjerit saat mulutnya dibekap dari belakang. Beberapa ledakan lantas menggema di sekitarnya, diiringi derap langkah kaki yang mendekat.

Mata sang perempuan terbelalak, diiringi cahaya warna-warni yang membuncah di angkasa. Nafasnya mengalir lega keluar dari mulutnya yang telah terbebas, ditingkahi tawa yang membahana yang mengarah padanya. 

                “Gila. Kenceng juga teriakannya. Kalau anak ayam tetangga kebangun kan bisa gawat! Buaaahahahaaa..”

                Perempuan itu menatap semua wajah yang dikenalnya dengan baik, membawa banyak kue dan kado yang besar. Tiwi, Desta, Sita, dan Papang, yang merupakan kawan-kawan dekatnya dan Feri, yang sudah bangkit dari kepura-puraanya dan merangkul sang istri dengan tawa tertahan.

                “Jadi ini kerjaan lo semua? Kamu juga?” sang perempuan memberengut, meninju bahu sang suami berkali-kali.

                “Iyaaa.. kita kan kemaren nggak bisa dateng ke kawinan lo, dan sekarang iseng deh ngasih kejutan perkawinan buat lo.. iya kan Des?” Tiwi, sahabat kental sang perempuan menyikut cowok tambun di sebelahnya, yang tengah sangat antusias menikmati cupcake di tangannya. Ia mengangguk-angguk ambigu, entah karena setuju dengan perkataan Tiwi atau karena keenakan dengan kudapannya.

                “Lagian, masih dalam rangka pengantin baru malah baca buku serem, kerjain aja sekalian.” Feri ngakak dengan sempurna, membuat yang lain turut tergelak.

                “Niat banget ya lo semua! Terus siapa yang jalan-jalan di deket dapur? Bikin merinding aja.”

                “Jalan-jalan di dapur? TKP kita kan cuma kamar lo sama teras doang. Sama sekali nggak ada yang di dapur.” Jawaban dari Sita membuat sang perempuan tercekat. 

Kalau bukan ulah mereka, lantas milik siapa bayangan yang melesat dan langkah kaki pelan yang didengarnya sebelum memecahkan cangkir di dapur tadi???

#end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar