Pages

Selasa, 28 Januari 2014

Unsaid Word



Rindi merasa bosan dengan hubungan percintaannya. Sudah hampir lima tahun ia berpacaran dengan Avan, boleh dibilang segalanya berjalan dengan lancar. Mereka sama-sama saling mengerti dan percaya, hingga pertengkaran bisa diminimalisir. Namun hal itu justru mengganggu Rindi. Hubungannya yang baik-baik saja, ia anggap  terlalu tidak normal. Cenderung menjurus hambar.
            Maka gadis berhidung bangir itu mulai duduk bersila sambil bertopang dagu, dengan setoples penuh keripik kentang tersedia di dekatnya, ritual yang sering ia lakukan kalau sedang bimbang atau galau. Rindi melirik fotonya dengan Avan, terlihat bahagia dalam bingkainya. Namun jujur, telah begitu jarang ia rasakan sekarang. 
            Sembari melahap keripik di depannya, pandangan Rindi kini beralih pada sebentuk potret yang lain, yang memperlihatkan keakraban dirinya dengan sahabat karibnya, Arni. Mereka sudah bersahabat sejak SMP, membuat Rindi menganggapnya seperti saudara sendiri. Dan seiring dengan bunyi berisik keripik yang tergilas di dalam mulutnya, Rindi seolah mendapatkan ide cemerlang.

                                                                        ***

“Tolongin aku dong Ar..” ujar Rindi saat menemui Arni di kampus pagi itu.
“Tolong apa?” jawab Arni dari balik komik tipis yang tengah ditekuninya.
Ada sedikit ragu di hati Rindi sebetulnya, namun ... “Emm, kamu tolong deketin Avan ya..”
Dan seperti yang sudah diduga, cewek berwajah tirus itu langsung saja mendongak dari komiknya dengan sepenuh tenaga. “Hah?” Saat itu juga Arni memelototi Rindi, “Kamu memang udah gila. Nggak waras. Hubungan baik-baik aja kok mau dibikin jadi bermasalah!”  
          Dan Rindi terpaksa harus mendengar omelan Arni yang tak berkesudahan ketika ia nekat mencetuskan ide ‘cemerlang’ nya pada sahabatnya itu. Ya. Rindi berencana membuat Arni mendekati Avan, pacarnya. Hanya untuk mengetahui seberapa setianya cowok kece itu pada Rindi. Bukannya dia tidak percaya lagi pada Avan, tapi Rindi hanya ingin hubungannya bisa sedikit lebih berwarna.
“Iseng aja kok Ar, aku pengen tau reaksi dia kalau dideketin sama cewek lain”
“Iseng? Ya ampun Rin, kalau sampe Avan tau, dia bisa marah banget. Apalagi bawa-bawa aku segala” Arni berkacak pinggang. Ia terlihat sangat gelisah.
“Aku kok yang bakal tanggung jawab. Aku akan bilang kalau kita cuma ngerjain dia aja. Mau ya Ar, please ... “
            Arni menghela nafas panjang, meniup keras udara di sekelilingnya. Rindi dari dulu memang selalu aneh-aneh. Suka cari gara-gara, terutama menyangkut Avan. Ingin membuat kejutan untuk Avan lah, ingin memancing rasa cemburu Avan lah, dan sekarang, ingin dia mendekati Avan. Hal yang sampai mati pun ingin ia tolak. Terlebih saat hatinya justru memaksa untuk menerimanya, memberi kesempatan rasanya untuk tumbuh semakin dalam pada cowok itu. Rasa yang tak pernah Rindi ketahui...
                                                                        ***
Cinta memang selalu berjalan begitu sederhana, namun pelakonnya lah yang seringkali membuatnya rumit.
            “Aku mau kita break dulu. Kamu nggak usah temuin aku lagi buat sementara” Rindi berkata kalem pada Avan, saat menemaninya di perpustakaan. Sementara Avan, yang tengah sibuk menyibak buku demi buku di rak sastra, segera memandangnya tajam.
“Kenapa break?” tanyanya tegas, namun tak bisa menyembunyikan getar di dalamnya.
“Ada banyak kuis minggu depan, aku mau konsen belajar” Rindi melirik Avan dari sudut matanya. Ada perasaan aneh saat ia menyadari cowok itu masih saja menatapnya. Maka ia berpaling, karena sekali saja ia balas memandang mata sebening telaga itu, rencananya akan hancur total dalam sekejap.
“Aku nggak mau. Kalau perlu aku bantuin kamu belajar”
“Nggak usah. Berhentilah mengganggap aku nggak bisa melakukan segala hal sendirian” setelah mengatakan itu, Rindi segera pergi, mengayunkan keluar bayangannya di balik pintu.
            Avan membuka novel terjemahan A Scarlett Letter yang baru saja diambilnya, berusaha membacanya dengan serius. Namun perkataan Rindi barusan rupanya lebih berpengaruh pada otaknya sekarang, karena ia tak henti memikirkannya. Sampai kapan sih kamu bersikap seperti anak kecil, sayang, ujar batinnya kian kacau..
            Cowok itu lantas menutup bukunya dengan kasar dan berpaling, tepat ketika tatapannya menangkap sorot lembut milik seorang gadis berwajah tirus.
“Arni?”
                                                                        ***
            Rindi bertengkar hebat dengan Avan. Ia bersikeras untuk menjaga jarak dari Avan sementara waktu, sedangkan cowok itu selalu keras kepala datang menemui Rindi.
            Namun tampaknya rencananya berhasil. Avan lebih sering bersama dengan Arni sekarang. Walaupun dalam hati Rindi khawatir juga senjatanya akan berbalik melawannya, pikiran terburuk bahwa Avan akan benar-benar berpaling. Sejak ia berpacaran dengan Avan, otomatis dia dekat dengan Arni, yang menjadi tempat curhat jika Rindi sedang ngambek.
“Udahan aja deh Rin. Aku kasihan sama Avan” keluh Arni, yang sengaja berkunjung ke rumah Rindi. Diam-diam ia merasa tersiksa ketika melihat orang yang disayanginya dipermainkan seperti itu. Seandainya kamu tau ada rasaku untukmu, seandainya kamu memilih aku Van.....
“Sebentar lagi Ar, kalau dia bisa buktiin dia setia sama aku, aku janji ini yang terakhir kali aku ngerjain dia” bujuk Rindi pada sahabat karibnya.
“Lima tahun dia setia sama kamu Rindi! Masih kurang? Harusnya kamu liat ekspresinya waktu cerita soal kamu. Dia itu sayang baget sama kamu. Aku nggak ngerti kenapa dia bisa bertahan sama cewek egois dan kekanak-kanakan seperti kamu”
            Tanpa banyak basa-basi lagi, Arni pergi. Ada emosi yang menggelora di setiap tarikan nafas saat ia berbicara. Emosi yang membuat Rindi mulai khawatir, tentang sesuatu yang lain, di luar dugaannya.
                                                                        ***
            Arni dan Avan. dimana-mana selalu ada mereka. Arni yang menghindar dari Rindi, semakin nampak akrab dengan Avan yang tengah marah pada Rindi. Mereka kompak menjauhinya sekarang. Sibuk dalam dunia mereka sendiri.
            Rindi mulai merasa permainannya harus segera diakhiri. Ia tak tahan melihat tatapan saat mata mereka bertemu, seolah ada rahasia di baliknya. Dan Rindi hanyalah seorang idiot yang tak perlu mengetahuinya.
            Maka ia berencana menemui Arni di kelasnya. Ia harus meminta Arni untuk segera menjauhi Avan. Karena semuanya telah selesai.
Tiba di kelas Arni, saat itulah kesadaran menghantam Rindi, ketika tak sengaja ia menemukan pucuk kertas yang menyembul di antara komik milik Arni.
Dear Avan,
Seperti embun pada dedaunan, yang setia mengalirinya
Meski matahari perlahan mengusirnya, ia tetap akan kembali lagi, esok..
Seperti aku padamu, selalu setia menyimpan rasaku
Meski bukan aku di hatimu, selalu..
      Rindi melangkahkan kakinya secepat kilat keluar kelas. Ia meremas kertas sialan dalam genggamannya. Ia berjalan tak tentu arah, hingga menemukannya baru saja keluar dari perpustakaan bersama Avan.
“Jadi kamu suka sama Avan, Ar?” tuduh Rindi bahkan sebelum langkahnya belum sampai di depan mereka berdua. Suaranya bergetar, takut akan kebenaran yang mulai menyeruak.
           Arni terlihat bingung. Tawanya yang baru saja berderai bersama dengan Avan lenyap seketika. Terlebih saat Rindi menunjukkan catatan pribadinya untuk Avan.
 “Kenapa lagi sih ini Rin?” tanya Avan yang masih belum mengerti.
“Arni suka sama kamu Van. Dia pasti manfaatin rencana aku”
“Rencana? Rencana apa?”
“Aku... aku minta Arni buat deketin kamu.. buat menguji kesetiaan kamu sama aku. Tapi, setelah aku liat kalian semakin deket, aku jadi khawatir kamu jatuh cinta beneran sama dia, terlebih ternyata dia suka sama kamu” Rindi membeberkan sendiri rencananya. Ia mengangsurkan remasan kertas yang digenggamnya pada Avan.
            Avan tertegun sejenak. Perlahan ia lantas berpaling pada Arni yang mematung di sampingnya. Rahangnya memang terkatup rapat, namun bahunya terlihat bergetar hebat, berusaha menahan rinai yang hendak muncul dari matanya. Gadis itu lantas berlari pergi.
“Kamu masih hutang penjelasan sama aku” nyatanya, Avan justru berlari mengejar Arni. Rindi menghentakkan kakinya kesal, lalu menyusul bayangan Avan yang kian menghilang.
          Rindi akhirnya menemukan mereka di luar kampus. Tepat saat Avan, yang mengejar Arni hingga ke tengah jalan, terserempet truk besar yang melintas, menggaungkan nama Arni yang terlempar jauh ke trotoar.
***
Jika saja penyesalan mau memperingatkan Rindi sejak awal, tentu tidak akan begini jadinya. Maaf. Satu kata tak terucap yang menguap di hati. Saat hanya penyesalan saja yang tersisa, tak pernah mengembalikan lagi kesempatan yang telah sirna.
“Kita pulang yuk” ajak Avan, merangkul istrinya dengan lembut.
Rindi mengangguk. Ia mengusap lagi nisan Arni. Berharap sahabatnya itu melihat penyesalannya, berharap ia menerima maaf Rindi yang tak sempat tersampaikan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar