Pages

Selasa, 28 Januari 2014

Love In Death


*Aku mengayun langkahku kebarat, berusaha mengiringi jejak  mentari dipenghujung hilang. Pasir ditelapak kakiku terasa semakin lembut ketika temaram senja menerpa wajah pucatku. Aku tersenyum, menikmati indahnya suasana yang barangkali tidak akan pernah bisa aku rasakan lagi selamanya.

Dan ketika debur ombak itu mulai terdengar, sebuah bayangan datang mendekap bayanganku. Aku berpaling, tersenyum semakin lebar pada bayangan itu. Namun kudapati rona diwajah tirusnya sama pucatnya denganku. Ah, pasti hanya tipuan cahaya.

Bayangan itu lalu mengulurkan tangannya padaku, kusambut dengan suka cita yang perih. Andai saja ia tau tangan yang ia genggam erat ini telah kehilangan separuh nyawanya, andai ia tau ia hanya akan menggenggam kekosongan suatu saat nanti. Namun aku terlalu egois untuk mengatakannya, aku terlau pengecut untuk berterus terang.

“Kamu tau apa itu surga?” tiba-tiba bayangan itu bersuara, tersenyum menatap merahnya mentari diujung lautan.

“Emmm..” aku memandangnya, tak berkedip menikmati wajah teduh itu.


“Bagiku, surga adalah tempat dimana aku bisa menghabiskan sesering mungkin waktuku bersamamu.” kali ini ia balas memandangku, sehingga aku bisa dengan jelas melihat gurat-gurat lelah diwajahnya.

Cairan hangat lantas merebak dimataku, membuncah dan akhirnya mengalir membasahi pipi kurusku.

Aku mendekatinya, segera memasrahkan kepalaku di pundaknya. Ia merengkuhku dalam pelukan hangatnya, berusaha menenanganku di tengah perjuanganku membendung air mata. Dalam hati aku mengutuk diriku, mencaci-maki ketakutanku, dan menertawakan keegoisanku. Dia pantas bahagia, namun sayangnya tak akan ia dapatkan sepenuhnya dariku.

Dan ketika senja telah menjemput malam, semakin kurapatkan dekapanku pada tubuh kurusnya. Ingin rasanya disana, selamanya, tak pernah pergi…

***

*Kanker otak itu akan segera membunuhku, cepat atau lambat.

Aku tidak tau bagaimana reaksi Monita begitu saat itu tiba. Dan aku benar-benar tidak mau tau, karena melihatnya bersedih hanya akan membunuhku dua kali. Aku tak perlu bilang, aku hanya ingin membahagiakannya saat ini, di saat malaikat maut masih memberiku kesempatan untuk hidup. Walau belakangan ini kulihat betapa kesehatannya semakin menurun.

Kemudian kuingat saat-saat indah bersamanya, di bawah rindangnya pohon cemara kami bersenda gurau. Tawanya yang khas begitu menggetarkan hatiku, tak kan pernah hilang dari ingatanku sekalipun otakku mungkin rusak parah.

Perilakunya yang lemah lembut juga telah membuatku hanyut dalam cinta yang tak pernah akan usai. Aku memandangnya ketika ia tengah menatap lalu lalang kupu-kupu disebuah semak. Wajahnya bagitu teduh, dan damai, meskipun rona pucat tak hentinya merebak di sekujur wajahnya.

“Sekarang aku benar-benar yakin bahwa kamu adalah tulang rusukku.”

Monita berpaling padaku, tatapannya berbinar begitu indah menari-nari dipelupuk mataku. Ia menelengkan kepanya sedikit, seolah bertanya mengapa bisa begitu.

Aku meraih tangannya, menggenggamnya dalam jemariku, begitu menghangatkanku,
“Karena tanpa kamu sebentar saja di dekatku, aku merasa lumpuh.”

Gadis berambut panjang itu tersipu, semburat merah muda tampak jelas dikedua pipinya. Kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merangkulnya, dan bersama, kami mengikuti jejak kupu-kupu yang sedari tadi setia menemani keberadaan kami di sini.

Tersadar dari lamunanku, sesosok bayangan pucat pasi di dalam cermin memandangku khawatir. Begitu buruk, kurus, dan rapuh. Obat-obatan itu begitu mempengaruhiku sekarang. Namun Monica tidak boleh menyadari perubahan fisikku. Aku harus selalu tampil sehat, paling tidak dihadapannya.

***

* “Kamu sakit ya?” aku menanyai kekasihku.


“Nggak kok, emangnya kenapa sih?” jawab Pratama, yang biasa aku panggil Tama.

Aku menelusuri wajah Tama secara seksama.
Rambutnya terlihat basah dan segar, tubuhnya juga harum dan dingin, namun itu semua tetap tidak bisa menyembunyikan wajah pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya.

“Hei, aku tidak apa-apa. Kamu tuh yang sakit, badanmu panas.” cowok manis itu meraba keningku dan membelai pipiku perlahan, mengisyaratkan kasih yang tiada putusnya.

“Aku nggak apa-apa…” kemudian aku tersentak, segera kusingkirkan tangan berjari-jari panjang itu.

Dia tidak boleh tau penyakitku. Penyakit yang semakin melebar memenuhi paru-paruku. Aku tak ingin ia bersedih karenanya. Tidak. Sebenarnya, lebih karena aku tak ingin dia meninggalkanku. Aku tak ingin kehilangannya, terutama disaat-saat terakhirku.

Lalu, ada yang berbisik ditelingaku, “dia sangat mencintaimu, tidak mungkin ia meninggalkanmu. Justru akan lebih menyakitinya jika ia tidak tau kebenarannya hingga saat terakhirmu.” kalimat itu terus berdengung di telingaku, yang segera kusadari bahwa itu adalah suara hatiku.


Dan rahasia yang kupendam setahun belakangan ini, rasanya sudah mendesak untuk kukeluarkan.

“Tama..”

“Aku sayang banget sama kamu Monica.”

Kami berdua berkata serentak. Tama tersenyum, senyum tulus yang selama ini aku gilai. Yang akan terus aku simpan rapat kenangannya di kalbuku.

“Aku juga sayang kamu.” akhirnya kalimat itulah yang tercetus dari bibirku.

***

* Aku baru saja melepaskan ciumanku pada Monica. Kami tersenyum. Kebahagiaan tidak sanggup kututupi saat ini. Bersama Monica aku sanggup melupakan segalanya, aku mampu bahagia bila berada di dekatnya.

Namun apa yang akan Monica rasakan ketika aku pergi? Ia pasti akan hancur berkeping-keping, seperti aku bila harus kehilangan penjaga hatiku itu. Sempat terpikir olehku untuk mengatakan saja tentang penyakitku padanya, berharap ia segera belajar menghadapi kepergianku. Tapi apakah aku sanggup, sementara aku tidak ingin keadaan ini berubah sampai detik terakhirku telah habis?

Lalu Monica menciumku lagi, seolah ini adalah ciuman terakhir yang ingin ia nikmati bersamaku, tidak ingin segera ia akhiri. Namun sesuatu yang basah kurasakan, Monica menangis. Dia tak pernah menangis dalam ciuman kami sebelumnya, kenapa?

“Kamu kenapa?”


Monica menangis sesenggukan. Aku benar-benar bingung. Kucoba menenangkannya dulu, sebelum kutanyai lagi apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku nggak apa-apa, aku hanya seneng banget masih bisa sama kamu sampai sekarang. Aku nggak mau kehilangan kamu.” Gadis itu memelukku erat.

Segera timbul dipikaranku, mengapa dia mengatakan hal seperti itu? Tidak mungkin ia sudah tau mengenai penyakitku. Ketika aku sedang membelai punggungnya, ia melepaskan diri dan memandangku tajam.

“Aku cinta sama kamu Tama, aku ingin kamu ambil sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.”

Sekian detik aku berpikir tentang apa yang baru saja ia katakan, namun akhirnya aku mengerti.

“Dari mana kamu dapet pikiran seperti itu sih?"

“Aku ingin kamu tau kalau aku sayang banget sama kamu.”

“Tapi bukan begitu caranya.” aku kembali mendekapnya, “cinta itu bukan nafsu Mon, cinta itu  perasaan tulus dari hati, nggak pernah menuntut. Aku cinta hati kamu, bukan tubuh kamu.”

Monita semakin bergetar hebat, tangisnya kian menjadi saat kukecup rambutnya.

***

*Aku tidak sanggup lagi menahan semua ini sendirian. Kenapa dia harus sebaik itu? Aku sungguh tidak pantas mendapatkannya. Aku harus memberitahunya keadaanku yang sesungguhnya. Biarkan dia mencari lain sebagai penggantiku. Bila aku rela meninggalkannya, dia pun harus rela melepaskanku.

Aku menutup buku diaryku, untuk segera menelpon Tama. Aku ingin bertemu dengannya untuk berterus terang. Apapun reaksinya, aku tidak akan peduli. Dan aku berharap dia memang akan meninggalkanku. Walau bila itu terjadi, aku akan memilih mati saat itu juga dari pda melihatnya pergi menjauh.

Namun aku sudah siap. Aku harus siap. Aku terbaring, dam mulai memejamkan mata, berharap masih dapat kubuka esok hari, walau itu adalah hal terakhir yang akan kulakukan.

*
Aku menunggu Monica disebuah taman di dekat rumahnya. Semalam ia meneleponku, ingin membicarakan sesuatu yang serius. Ada apa sebenarnya? Apa dia ingin aku menikahinya? Ah, pikiranku terlalu jauh, mana mungkin aku menikahinya, toh aku akan segera pergi. Atau aku katakan saja sekarang, sebelum ia mengatakan niatnya? Dia akan menyesal bila terus bersamaku.


Tak lama Monica datang, ia tampak cantik dengan gaun merah tuanya yang anggun. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya. Ia menghampiriku, duduk di sebelahku dan menunduk, diam.

“Kamu kelihatan sangat cantik hari ini.” aku bersuara.

“Makasih.” Monica tersenyum, namun ia tetap tidak memandangku.

“Ada apa sayang?” aku memecah keheningan.

“Aku ingin mengakui sesuatu.” katanya datar. Tiba-tiba jantungku berdetak hebat, apa yang ingin ia akui?

“Apa?”

Ia tidak segera menjawab, nafasnya tiba-tiba memburu. Tangannya lalu mencengkeram dadanya, nafasnya mulai tersengal, ia tampak sangat kesakitan.

“Mon, kamu kenapa? Monita?”

“Aku nggak apa-apa kok Tam. Aku nggak apa-apa.” Monica berusaha bicara ditengal nafasnya yang seakan sesak.

“Nggak, kamu sakit Mon. kita harus kerumah sakit sekarang.”

“Nggak Tama, nggak perlu, tadi cuma sesak nafas dikit. Udah nggak apa-apa.”

Monica berusaha menangkis tanganku yang akan merangkulnya.

“Aku mau bilang sesuatu sama kamu.”

“Kamu mau bilang apa sih?”

Namun lagi-lagi belum sempat Monica menjawab pertanyaanku, kali ini ia mengaduh kesakitan. Tangannya erat menggenggam tanganku.

“Monita..”

***

*Sesuatu yang berat serasa memasuki rongga dadaku, begitu sesak untuk ku bernafas. Air mataku tidak mau berhenti mengalir, menumpahkan duka yang tidak ada habisnya.

Semua pertanyaan-pertanyaan tentang Monica akhirnya terjawab. Setelah ia akhirnya pergi untuk selamanya, setelah ia maninggalkanku lebih dulu. Aku dan dia telah sama-sama menyembunyikan rahasia tentang cinta, juga tentang kematian. Baru kali ini aku merasa amat bahagia dengan penyakit yang kumiliki, dan baru sekarang, saat ini, aku teramat bersyukur atas usiaku yang akan segera berakhir.

Aku kembali menghadapi sang surya yang mulai tenggelam di ujung sore, senjapun menyambutnya dengan suka cita, menebarkan nuansa jingga yang mengagumkan. Namun kali ini aku sendiri, benar-benar sendirian.

Aku memang terasa lumpuh saat ini, tak dapat menjejakkan kakiku dengan kokoh, bahkan di atas pasir sekalipun.

Kamu tidak menemani aku disaat-saat terakhirku Monica. Kamu tidak sempat melihat betapa rapuhnya aku.

Namun aku bahagia, karena aku sempat menemani saat terakhirmu. Dan sesegera mungkin aku akan menyusulmu, mendekap dan menciummu dengan jiwaku.

Aku memejamkan mataku, merasakan hembusan angin sepoi di sekitar pantai, alam mulai mengalunkan kicauan burung yang mengiringi datangnya malam. Mungkin untuk terakhir kalinya, sebelum ragaku hancur ditelan kematian.

Saat bayangan Monita semakin jelas di pelupuk mataku, saat itulah aku mulai, dan terus melangkah, bersama deburan ombak, membelah kesunyian. Dan kan kuteruskan kisah cintaku dengan Monica di dunia yang lain, tempat semuanya akan selalu indah dan abadi..



end_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar