'Satu
kesalahan menerjang, berikutnya yang muncul hanyalah sisa kesia-siaan. Tak ada
gunanya lagi tembang penyesalan kau dendangkan kini....’
Seorang perempuan menguap lebar.
Ia menutup novel tebal yang baru saja selesai ia baca. Berkisah tentang seorang
pembunuh berkepribadian ganda yang akhirnya menyesali perbuatannya di balik
jeruji besi, untuk kemudian membunuh dirinya sendiri dengan cara mengenaskan.
Perempuan itu lalu keluar dari
dari pintu kamar yang sudah tertutup rapat sedari tadi. Ia melenggang dengan
malas menuju pintu lain yang berada di timur kamarnya, dan membiarkan pintu itu
terkuak. Meski ia tak menyadari, pintu itu kini berderit membuka semakin lebar,
memperlihatkan sesuatu yang tengah mendengkur di balik rentangan selimut tebal.
Desahan angin pengap yang menguar disana pun sekarang bebas merentangkan diri
keluar ruangan, berayun-ayun lincah menelusup setiap celah yang dapat ia
jangkau.
Ia lalu menembus dapur yang temaram, melewati perempuan yang tengah
menyeduh cairan hitam pekat yang mengepul di tengah malam yang masih setia
menggelayut. Tangan sang perempuan lantas tak
sengaja menyentuh cangkir bening yang ia letakkan secara seroboh di ujung meja
dapur. Dan seperti yang sudah bisa ditebak, cangkir itu bukan hanya jatuh,
namun hancur berkeping-keping. Perempuan itu memekik terkejut, tepat saat
hembusan angin yang lebih kuat menghantam tengkuknya berulang kali. Mendadak
sekujur tubuhnya merinding. Ia mengamati sekitarnya dengan
seksama. Ekspresi
berani dan takut seolah berpusar dan menyatu pada guratnya yang menegang.
“Semoga hanya
perasaanku saja..” perempuan itu bergumam, tepat setelah ekor matanya menangkap
sekelebat bayangan yang melintas cepat. Namun ia tak berani memeriksanya
kemanapun.
Ia kemudian buru-buru membereskan pecahan cangkir kosong yang masih
berserakan di sekitar kaki telanjangnya, untuk kemudian mengumpulkannya di
sudut lantai. Ia amat takut untuk sekedar membuangnya ke tempat sampah di luar
rumah. Biarlah ia lakukan besok saja.
Suara langkah kaki samar
tiba-tiba terdengar, tepat di luar jendela dapur yang bergeming. Sang perempuan
mematung. Ia menajamkan pendengarannya dan menelan ludah. Namun sial, degup
jantungnya justru bertalu lebih keras, membuat nafasnya terhempas berat, dan
telinganya serasa bedengung.
“Aaaarrggghhhh..!!”
Perempuan itu semakin tercekat.
Ia kenal betul suara siapa itu. Tapi kenapa dia berteriak?
“Mas??”
panggilnya parau sembari bergegas
kembali ke kamar pengantinnya.
Pintu menjeblak terbuka. Mata
sang perempuan menerjang kamarnya mencari sesuatu.
“Mas?
Mas Feri?” namun kosong. Tak ada sahutan. Tak ada gerakan. Dan samar-samar,
sang perempuan melihat noda besar di sepanjang lantai yang ia pijak. Ia mencoba
mengamati lebih dekat di tengah temaram lampu meja yang menyala remang.
Ya. itu adalah darah. Tadinya
pasti merah pekat, sebelum ada sesuatu yang sepertinya diseret di atasnya.
Perempuan itu menutup mulut dengan kedua tangan, matanya mengabur oleh embun di
sekitar pelupuknya. Tak ada lagi yang ia pikirkan selain yang terburuk. Segera
ia mengikuti jejak darah itu hingga ke mendekati pintu keluar rumah yang
mengayun pelan disapu angin. Namun rasa was-was semakin merasuki hati sang
perempuan saat listrik di sekitarnya padam. Ia panik dan buru-buru berlari
keluar, berniat meminta bantuan tetangga sekitar, meski jarak setiap rumah
terpisah cukup jauh.
Belum sempat ia berlari jauh,
kakinya terantuk sesuatu yang besar di tanah pekarangan rumahnya. Pendar
purnama kala itu segera menyoroti apa yang teronggok lemah di bawahnya. Benar.
Itu adalah mayat. Seorang lelaki bertubuh besar dan berlumuran darah.
“Mas
Feri !!!!” jeritan istri si mayat menghujam malam yang tergelar. Sesuatu yang
seperti ini seharusnya tak terjadi di hari ketiga pernikahan mereka. Janji suci
yang akhirnya terjalin setelah berbagai aral yang menghalangi telah sanggup
mereka lewati. Saat itu juga terdengar suara sebongkah kayu yang dilemparkan ke
teras rumah. Sang perempuan bersiap kembali menjerit saat mulutnya dibekap dari
belakang. Beberapa ledakan lantas menggema di sekitarnya, diiringi derap
langkah kaki yang mendekat.
Mata sang perempuan terbelalak,
diiringi cahaya warna-warni yang membuncah di angkasa. Nafasnya mengalir lega keluar
dari mulutnya yang telah terbebas, ditingkahi tawa yang membahana yang mengarah
padanya.
“Gila.
Kenceng juga teriakannya. Kalau anak ayam tetangga kebangun kan bisa gawat!
Buaaahahahaaa..”
Perempuan
itu menatap semua wajah yang dikenalnya dengan baik, membawa banyak kue dan
kado yang besar. Tiwi, Desta, Sita, dan Papang, yang merupakan kawan-kawan
dekatnya dan Feri, yang sudah bangkit dari kepura-puraanya dan merangkul sang
istri dengan tawa tertahan.
“Jadi
ini kerjaan lo semua? Kamu juga?” sang perempuan memberengut, meninju bahu sang
suami berkali-kali.
“Iyaaa..
kita kan kemaren nggak bisa dateng ke kawinan lo, dan sekarang iseng deh ngasih
kejutan perkawinan buat lo.. iya kan Des?” Tiwi, sahabat kental sang perempuan
menyikut cowok tambun di sebelahnya, yang tengah sangat antusias menikmati
cupcake di tangannya. Ia mengangguk-angguk ambigu, entah karena setuju dengan
perkataan Tiwi atau karena keenakan dengan kudapannya.
“Lagian,
masih dalam rangka pengantin baru malah baca buku serem, kerjain aja sekalian.”
Feri ngakak dengan sempurna, membuat yang lain turut tergelak.
“Niat
banget ya lo semua! Terus siapa yang jalan-jalan di deket dapur? Bikin
merinding aja.”
“Jalan-jalan
di dapur? TKP kita kan cuma kamar lo sama teras doang. Sama sekali nggak ada
yang di dapur.” Jawaban dari Sita membuat sang perempuan tercekat.
Kalau bukan ulah mereka, lantas
milik siapa bayangan yang melesat dan langkah kaki pelan yang didengarnya
sebelum memecahkan cangkir di dapur tadi???
#end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar