Rindi
merasa bosan dengan hubungan percintaannya. Sudah hampir lima tahun ia
berpacaran dengan Avan, boleh dibilang segalanya berjalan dengan lancar. Mereka
sama-sama saling mengerti dan percaya, hingga pertengkaran bisa diminimalisir.
Namun hal itu justru mengganggu Rindi. Hubungannya yang baik-baik saja, ia
anggap terlalu tidak normal. Cenderung
menjurus hambar.
Maka gadis berhidung bangir itu
mulai duduk bersila sambil bertopang dagu, dengan setoples penuh keripik
kentang tersedia di dekatnya, ritual yang sering ia lakukan kalau sedang
bimbang atau galau. Rindi melirik fotonya dengan Avan, terlihat bahagia dalam
bingkainya. Namun jujur, telah begitu jarang ia rasakan sekarang.
Sembari melahap keripik di depannya,
pandangan Rindi kini beralih pada sebentuk potret yang lain, yang
memperlihatkan keakraban dirinya dengan sahabat karibnya, Arni. Mereka sudah
bersahabat sejak SMP, membuat Rindi menganggapnya seperti saudara sendiri. Dan
seiring dengan bunyi berisik keripik yang tergilas di dalam mulutnya, Rindi
seolah mendapatkan ide cemerlang.
***
“Tolongin
aku dong Ar..” ujar Rindi saat menemui Arni di kampus pagi itu.
“Tolong
apa?” jawab Arni dari balik komik tipis yang tengah ditekuninya.
Ada
sedikit ragu di hati Rindi sebetulnya, namun ... “Emm, kamu tolong deketin Avan
ya..”
Dan
seperti yang sudah diduga, cewek berwajah tirus itu langsung saja mendongak
dari komiknya dengan sepenuh tenaga. “Hah?” Saat itu juga Arni memelototi Rindi, “Kamu
memang udah gila. Nggak waras. Hubungan baik-baik aja kok mau dibikin jadi
bermasalah!”
Dan Rindi terpaksa harus mendengar
omelan Arni yang tak berkesudahan ketika ia nekat mencetuskan ide ‘cemerlang’
nya pada sahabatnya itu. Ya. Rindi berencana membuat Arni mendekati Avan,
pacarnya. Hanya untuk mengetahui seberapa setianya cowok kece itu pada Rindi.
Bukannya dia tidak percaya lagi pada Avan, tapi Rindi hanya ingin hubungannya
bisa sedikit lebih berwarna.
“Iseng
aja kok Ar, aku pengen tau reaksi dia kalau dideketin sama cewek lain”
“Iseng?
Ya ampun Rin, kalau sampe Avan tau, dia bisa marah banget. Apalagi bawa-bawa
aku segala” Arni berkacak pinggang. Ia terlihat sangat gelisah.
“Aku
kok yang bakal tanggung jawab. Aku akan bilang kalau kita cuma ngerjain dia
aja. Mau ya Ar, please ... “
Arni menghela nafas panjang, meniup
keras udara di sekelilingnya. Rindi dari dulu memang selalu aneh-aneh. Suka
cari gara-gara, terutama menyangkut Avan. Ingin membuat kejutan untuk Avan lah,
ingin memancing rasa cemburu Avan lah, dan sekarang, ingin dia mendekati Avan.
Hal yang sampai mati pun ingin ia tolak. Terlebih saat hatinya justru memaksa
untuk menerimanya, memberi kesempatan rasanya untuk tumbuh semakin dalam pada
cowok itu. Rasa yang tak pernah Rindi ketahui...
***
Cinta memang selalu berjalan
begitu sederhana, namun pelakonnya lah yang seringkali membuatnya rumit.
“Aku mau kita break dulu. Kamu nggak usah temuin aku lagi buat sementara” Rindi
berkata kalem pada Avan, saat menemaninya di perpustakaan. Sementara Avan, yang
tengah sibuk menyibak buku demi buku di rak sastra, segera memandangnya tajam.
“Kenapa
break?” tanyanya tegas, namun tak
bisa menyembunyikan getar di dalamnya.
“Ada
banyak kuis minggu depan, aku mau konsen belajar” Rindi melirik Avan dari sudut
matanya. Ada perasaan aneh saat ia menyadari cowok itu masih saja menatapnya.
Maka ia berpaling, karena sekali saja ia balas memandang mata sebening telaga
itu, rencananya akan hancur total dalam sekejap.
“Aku
nggak mau. Kalau perlu aku bantuin kamu belajar”
“Nggak
usah. Berhentilah mengganggap aku nggak bisa melakukan segala hal sendirian”
setelah mengatakan itu, Rindi segera pergi, mengayunkan keluar bayangannya di
balik pintu.
Avan membuka novel terjemahan A Scarlett Letter yang baru saja
diambilnya, berusaha membacanya dengan serius. Namun perkataan Rindi barusan
rupanya lebih berpengaruh pada otaknya sekarang, karena ia tak henti
memikirkannya. Sampai kapan sih kamu
bersikap seperti anak kecil, sayang, ujar batinnya kian kacau..
Cowok itu lantas menutup bukunya
dengan kasar dan berpaling, tepat ketika tatapannya menangkap sorot lembut milik
seorang gadis berwajah tirus.
“Arni?”
***
Rindi bertengkar hebat dengan Avan. Ia
bersikeras untuk menjaga jarak dari Avan sementara waktu, sedangkan cowok itu
selalu keras kepala datang menemui Rindi.
Namun tampaknya rencananya berhasil.
Avan lebih sering bersama dengan Arni sekarang. Walaupun dalam hati Rindi
khawatir juga senjatanya akan berbalik melawannya, pikiran terburuk bahwa Avan
akan benar-benar berpaling. Sejak ia berpacaran dengan Avan, otomatis dia dekat
dengan Arni, yang menjadi tempat curhat jika Rindi sedang ngambek.
“Udahan
aja deh Rin. Aku kasihan sama Avan” keluh Arni, yang sengaja berkunjung ke
rumah Rindi. Diam-diam ia merasa tersiksa ketika melihat orang yang
disayanginya dipermainkan seperti itu. Seandainya
kamu tau ada rasaku untukmu, seandainya kamu memilih aku Van.....
“Sebentar
lagi Ar, kalau dia bisa buktiin dia setia sama aku, aku janji ini yang terakhir
kali aku ngerjain dia” bujuk Rindi pada sahabat karibnya.
“Lima
tahun dia setia sama kamu Rindi! Masih kurang? Harusnya kamu liat ekspresinya
waktu cerita soal kamu. Dia itu sayang baget sama kamu. Aku nggak ngerti kenapa
dia bisa bertahan sama cewek egois dan kekanak-kanakan seperti kamu”
Tanpa banyak basa-basi lagi, Arni
pergi. Ada emosi yang menggelora di setiap tarikan nafas saat ia berbicara.
Emosi yang membuat Rindi mulai khawatir, tentang sesuatu yang lain, di luar
dugaannya.
***
Arni dan Avan. dimana-mana selalu
ada mereka. Arni yang menghindar dari Rindi, semakin nampak akrab dengan Avan
yang tengah marah pada Rindi. Mereka kompak menjauhinya sekarang. Sibuk dalam
dunia mereka sendiri.
Rindi mulai merasa permainannya
harus segera diakhiri. Ia tak tahan melihat tatapan saat mata mereka bertemu,
seolah ada rahasia di baliknya. Dan Rindi hanyalah seorang idiot yang tak perlu
mengetahuinya.
Maka ia berencana menemui Arni di
kelasnya. Ia harus meminta Arni untuk segera menjauhi Avan. Karena semuanya
telah selesai.
Tiba
di kelas Arni, saat itulah kesadaran menghantam Rindi, ketika tak sengaja ia
menemukan pucuk kertas yang menyembul di antara komik milik Arni.
Dear Avan,
Seperti embun pada
dedaunan, yang setia mengalirinya
Meski matahari perlahan
mengusirnya, ia tetap akan kembali lagi, esok..
Seperti aku padamu,
selalu setia menyimpan rasaku
Meski bukan aku di
hatimu, selalu..
Rindi melangkahkan kakinya secepat
kilat keluar kelas. Ia meremas kertas sialan dalam genggamannya. Ia berjalan
tak tentu arah, hingga menemukannya baru saja keluar dari perpustakaan bersama
Avan.
“Jadi
kamu suka sama Avan, Ar?” tuduh Rindi bahkan sebelum langkahnya belum sampai di
depan mereka berdua. Suaranya bergetar, takut akan kebenaran yang mulai
menyeruak.
Arni terlihat bingung. Tawanya yang
baru saja berderai bersama dengan Avan lenyap seketika. Terlebih saat Rindi
menunjukkan catatan pribadinya untuk Avan.
“Kenapa lagi sih ini Rin?” tanya Avan yang
masih belum mengerti.
“Arni
suka sama kamu Van. Dia pasti manfaatin rencana aku”
“Rencana?
Rencana apa?”
“Aku...
aku minta Arni buat deketin kamu.. buat menguji kesetiaan kamu sama aku. Tapi,
setelah aku liat kalian semakin deket, aku jadi khawatir kamu jatuh cinta
beneran sama dia, terlebih ternyata dia suka sama kamu” Rindi membeberkan
sendiri rencananya. Ia mengangsurkan remasan kertas yang digenggamnya pada
Avan.
Avan tertegun sejenak. Perlahan ia
lantas berpaling pada Arni yang mematung di sampingnya. Rahangnya memang
terkatup rapat, namun bahunya terlihat bergetar hebat, berusaha menahan rinai
yang hendak muncul dari matanya. Gadis itu lantas berlari pergi.
“Kamu
masih hutang penjelasan sama aku” nyatanya, Avan justru berlari mengejar Arni.
Rindi menghentakkan kakinya kesal, lalu menyusul bayangan Avan yang kian
menghilang.
Rindi akhirnya menemukan mereka di
luar kampus. Tepat saat Avan, yang mengejar Arni hingga ke tengah jalan,
terserempet truk besar yang melintas, menggaungkan nama Arni yang terlempar
jauh ke trotoar.
***
Jika
saja penyesalan mau memperingatkan Rindi sejak awal, tentu tidak akan begini
jadinya. Maaf. Satu kata tak terucap yang menguap di hati. Saat hanya
penyesalan saja yang tersisa, tak pernah mengembalikan lagi kesempatan yang
telah sirna.
“Kita
pulang yuk” ajak Avan, merangkul istrinya dengan lembut.
Rindi mengangguk. Ia mengusap lagi nisan
Arni. Berharap sahabatnya itu melihat penyesalannya, berharap ia menerima maaf
Rindi yang tak sempat tersampaikan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar